Posts Tagged With: UGM

Istanbul Journal [Part 1 – Funding]

Activity Feeds Facebook di bagian kanan layar laptop ku bergerak ke bawah. Tertera di sana bahwa seorang teman menge-like sebuah fanpage bertajuk “DEYS 2013 Istanbul”. Begitu penasaran dengan kata “Istanbul”, aku pun memutuskan untuk masuk dan melihat isi dari fanpage tersebut. Ternyata DEYS 2013 adalah sebuah student conference. Acara tersebut akan dihelat di Kozyatagi Kultur Merkezi (bahkan dulu aku tidak yakin bagaimana cara mengucapkannya) Istanbul. Konferensi pelajar yang diadakan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Istanbul ini memiliki tema utama Democratic and Economics.

Merasa tertantang dan punya kesesuaian dengan minat, aku pun langsung mengajak seorang teman di asrama untuk mulai membuat garis besar dari makalah yang akan kami kirimkan ke panitia konferensi di Turki tersebut. Rajif, rekan setim ku, adalah seorang mahasiswa fisipol UGM yang cukup intelek. Ia pada saat itu menjabat sebagai Pimpinan Bidang Keilmuan Dewan Mahasiswa Fisipol UGM. Pengetahuannya di bidang politik dan governance terbilang cukup mendalam. Ia mengusulkan tema yang diusung di paper kami adalah mengenai ‘Bonus Demografi dan pemanfaatannya lewat pendidikan’.

Continue reading

Categories: impian, kehidupan bermahasiswa | Tags: , , , , , , | 5 Comments

Kawah Candradimuka, Ujar Mereka

oprec ppsdms 2014 low

Tepat 2 tahun yang lalu, 12 Juni 2012, di depan Musholla Baitul Hakim FH UGM aku bersujud syukur di lantainya. Di sebelahku ada Mbak Ima, pemandu ospek dan kakak angkatan, yang juga mendaftar Program Pembinaan SDM Strategis (PPSDMS). Ia menyelamatiku. Entah bagaimana perasaannya, sebagai pendaftar yang juga lolos tahap ke-3 Tes PPSDMS tetapi tidak masuk ke saringan terakhir. Yang kutangkap hanyalah senyum ringan yang tanpa beban.

Tepat 2 tahun yang lalu, adalah hari-hari di mana aku kerap kali melakukan Shalat Hajat untuk bisa masuk ke asrama berprogram luar biasa ini. Aku tahu betul bagaimana kapasitas diriku baik yang intrinsik, yang tak diketahui orang lain, maupun yang ekstrinsik yang tertera dalam CV-ku. Semuanya biasa-biasa saja dan tidak ada hebatnya. Saat itu aku pikir hanya kehendak Tuhan lah yang bisa membuatku terpilih sebagai peserta di Program Pembinaan SDM Strategis Nurul Fikri. Aku yang tak ada apa-apanya ini cukup berharap untuk bisa bergabung dengan PPSDMS karena merasa tempat ini bisa menjadi sarana melatih diri.

Kembali ke setting di depan Mushalla FH. Setelah momen ajaib tadi, kami berdua melanjutkan bersiap-siap untuk menyambut Mahasiswa Baru FH angkatan 2012 yang akan registrasi ulang di Direktorat Administrasi Akademik UGM. Beberapa SMS berdatangan ke ponselku, rata-rata mengucapkan selamat. Mungkin mereka adalah orang-orang yang juga punya concern terhadap siapa-siapa saja yang lolos seleksi PPSDMS ini.

***

1 Juli 2012, aku datang ke asrama PPSDMS di Jalan Kaliurang Km 8. Kabarnya akan ada penandatanganan kontrak perjanjian berasrama dengan PPSDMS. Aku kira acaranya akan dimulai agak molor, seperti umumnya acara. Ternyata, acara dimulai tepat jam 13. Aku yang terlambat sekitar 10 menit dari jadwal tersebut langsung duduk bersama sekitar 50 anak muda yang sudah di sana sejak sebelumnya. Belum dimulai pun aku sudah ditegur oleh sistem yang disiplin itu. Pasca penandatanganan tersebut, aku bersalaman dengan Pak Waziz Wildan sang Ketua Regional 3 PPSDMS.

“Bagaimana, sudah siap ya?” tanyanya pelan. Aku mengangguk.

Kehidupan berasrama pun dimulai.

***

“Keberadaanku di asrama PPSDMS harus membawa pengaruh baik untuk diriku sendiri dan teman-teman”, ujar batinku. Hari-hari awal berlalu. Cultural shock sempat kualami di asrama ini. Kebiasaanku untuk bangun tidur tidak selalu subuh hari tiba-tiba ditabrakkan dengan realitas bahwa santri PPSDMS harus bangun sebelum subuh. Begitu pula dengan jam pulang, yang tadinya semaunya, kini (pada hari-hari tertentu) dibatasi sampai jam 8 malam saja karena ada program asrama yang menunggu.

Begitu pula dengan ibadah harian. Aku cukup terkejut mendengar target atau standar ibadah yang harus dilakukan oleh santri PPSDMS. 1 juz Al Quran per hari terdengar fantastis buatku yang dulu mengaji hariannya hanya 1 halaman. Begitu pula dengan target puasa sunah dan sebagainya. Belum lagi target prestasi yang dibagi ke aspek: lomba, menulis, atau menjadi pemimpin dalam organisasi. Intinya, aku merasa ada target-target yang “that’s not me”.

Perasaan berat memang terkadang menghantui. Apalagi bagi orang sepertiku yang mempunyai mentalitas ‘lebih semangat apabila sedang dalam posisi unggul dan bukannya diungguli’. Teman-teman asramaku kawan, luar biasa konsistensi mengejar target ibadah dan prestasinya. Paling tidak, Award yang diberikan bulanan oleh asrama menjadi buktinya. Bergiliran kawan-kawanku mendapatkan gelar ‘Amal Yaumiah Terbaik’, ‘Kehadiran Terbaik’, atau ‘Peserta Terbaik Bulan X’, tetapi tidak dengan diriku. Bulan demi bulan berlalu dan aku masih saja menjadi mediocre. Aku tidak terlalu semangat.

Aku cukup puas dengan improvement dalam diriku, terutama dalam hal ibadah. Namun, kadar yang kumiliki sekarang belum cukup untuk bisa dibilang ‘peserta yang baik’ secara objektif. Masih banyak anak tangga yang harus ditempuh untuk mendekati kesempurnaan pencapaian target.

***

Sekilas Mengenai “Target”

Apabila disadari, beberapa kali kata “target” kusebutkan. Mungkin akan muncul pertanyaan;

“Apa iya, hidup di PPSDMS intinya adalah mengejar target-target tadi?”

“Seperti robot yang mengejar titik-titik panduan?”

“Seperti Bloodhound yang bisa disuruh-suruh untuk berlari ke tempat jatuh buruan tuannya?”

Bisa jadi ya, bisa juga tidak. Tergantung kepada bagaimana pribadi kita memaknainya.

 

Menembus Ketidakmungkinan

Satu kata yang terus terbayang ketika mengingat momen-momen Training Pengembangan Diri (TPD) bersama Bang Bachtiar Firdaus adalah “Buka gembok yang menghalangimu untuk bisa!” Kata-kata tersebut hampir pasti beliau sebutkan di setiap TPD. Dari hal-hal yang kusebutkan sebelumnya (ibadah, prestasi pribadi, dan prestasi sosial), ada yang belum bisa kujalankan sepenuhnya. Misalnya menulis di Media Massa cetak, menjuarai kompetisi, dan going abroad ke luar negeri.

Alasannya, mungkin diriku masih tergembok, oleh gembok yang kupasang sendiri dan tak kuketahui di mana kuncinya.

Lalu, apakah aku akan tetap dalam kondisi terkunci? Ada satu lagi prinsip yang Bang Bach ajarkan;

Kalau kamu bersungguh-sungguh, pasti terbuka jalan menuju tujuan!

Konsep kesungguhan yang Bang Bach ajarkan kepada kita bukanlah yang sekadar berasal dari dalam hati lalu diejawantahkan sejadi-jadinya. Ia mengajarkan pula, ada strategi yang harus diketahui, lalu ditempuh.

Misalnya untuk menulis di Media Massa cetak, pertama-tama kita harus membaca dan memahami apa yang hendak kita tulis, lalu ditulis. Setelah itu, ajak teman dan rekan untuk berdiskusi mengenai hasil tulisan tersebut. Setelah dengan teman, teruskan diskusinya. Namun, kali ini, bersama ahli di bidang yang kau sedang tulis. Setelah lolos, konsultasikan Bahasa penulisannya kepada jurnalis. Tulisan tersebut akan memiliki probabilitas yang tinggi untuk diterima. PPSDMS memiliki jaringan yang luar biasa luas dan strategis. Tinggal si santri mau memanfaatkan atau tidak.

Begitu pula untuk going abroad. Mahasiswa berdana pas-pasan sudah tentu harus mencari donasi dan sponsor agar keberangkatannya ke luar negeri bisa terlaksana. Strategi untuk bisa mendapatkan dukungan dana adalah dengan membangun jaringan dengan tokoh-tokoh yang memiliki minat dan kepedulian mengenai tema seminar atau konferensi yang hendak kita ikuti, sejak jauh hari. Jangan sampai baru beberapa bulan menjelang keberangkatan, kita baru repot mencari-cari dan mendekati siapa saja yang bisa “dimintai duit”. Selain kurang etis, kemungkinan berhasilnya pun dipertanyakan.

Sedikit cerita mengenai perjalananku ke negeri orang. Bulan Agustus 2013 makalah yang kukirim ke Panitia Democratic and Economic Youth Summit 2013 di Turki dinyatakan diterima dan aku diundang oleh mereka sebagai invited participant yang akan dijamu dan diberi akomodasi selama di Turki. Namun, untuk tiket perjalanannya, aku harus mencari pendanaan sendiri. Singkat cerita, apapun dan bagaimanapun cara halal yang tersedia aku (dan teman-teman) lakukan. Akhirnya kami bisa berangkat juga.

Kalau tanpa strategi pun sebuah cita-cita bisa terlaksana, apa lagi bila didahului perencanaan yang matang.

***

Candradimuka

Dalam tulisan (yang kusadari betul, kurang sistematis) ini, aku mencoba menghubungkan antara konsep Kawah Candradimuka dengan kehidupan di PPSDMS. Kawah Candradimuka, dalam kisah perwayangan, digambarkan sebagai tempat di Kahyangan yang juga merupakan tempat dibuangnya (mungkin lebih halus bila disebut ‘ditempatkannya’) anak dari Bima yang bernama Tutuka. Di dalamnya, Tutuka digembleng dan dilatih dengan sangat keras. Alhasil, suatu hari ia keluar dari dalamnya dan menjadi seorang sakti yang kita kenal dengan nama Gatotkaca, ksatria berotot kawat tulang besi.

Begitu pula dengan kisah Wisanggeni, anak dari Arjuna. Suatu ketika Wisanggeni kecil dilempar ke Kawah Candradimuka dengan tujuan agar ia terbunuh. Alih-alih mati, Winggaseni malah keluar dari dalam kawah tersebut sebagai ksatria maha sakti.

Dalam pikiranku, PPSDMS bisa dianalogikan sebagai Kawah Candradimuka ini. Sejumlah orang terpilih yang “dicemplungkan” ke dalamnya lalu digodok dalam tempo tertentu kelak akan keluar sebagai seseorang yang bermental (dan mungkin berkemampuan) ksatria. Anggaplah segala kewenangan dan kewajiban yang ada nantinya sebagai tempaan bagi diri kita. Ingatlah kawan, pedang yang tidak ditempa, seseram apapun tampilannya tetap saja tidak kokoh. Tempaan yang berbentuk pukulan bertubi-tubi ke badan sang pedang itulah yang menguatkannya.

Target ibadah yang bagi sebagian orang terasa berat, ternyata merupakan standar dasar ibadah yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah, yang tentunya harus kita dekati standar tersebut. Begitu pula dengan tuntutan untuk berprestasi yang ternyata amat berguna sebagai branding dari kemampuan umat Islam dan rakyat Indonesia. Citra baik tersebut bisa menjadi sebuah nilai dakwah.Perjalanan ke luar negeri akan membuka optimisme kita, bahwa Indonesia pun sangat mungkin untuk sejahtera. Banyak lagi hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari setiap target yang ditetapkan PPSDMS, walaupun bukan berarti target-target tadi kebenarannya absolut, tanpa cela, dan tidak bisa dikritik. Keep up your criticism!

Hal lain yang juga bisa menjadi sarana pendewasaan adalah proses menangani konflik (yang sangat mungkin muncul) dalam kehidupan berasrama. Konflik dapat berupa vertikal, yang berhubungan dengan target yang ditetapkan oleh PPSDMS Pusat tadi, ataupun horizontal. Konflik vertikal biasanya dirasakan bukan hanya oleh diri kita sendiri. Sehingga kesadaran (atau keresahan) biasanya akan dirasakan secara kolektif.

Beda halnya dengan konflik horizontal. Konflik jenis ini bisa terjadi akibat hal-hal yang sangat mikro, seperti tidak izin dalam menggunakan barang milik teman lain (ghosob) atau hal-hal kecil lainnya. Penyebabnya sering kali tidak disadari atau dirasakan. Oleh karena itu, kita harus peka (atau memekakan diri) dalam menghadapi hal ini.

Khatimah

Untuk menutup tulisan tak sistematis ini, aku ingin merangkumnya ke dalam sebuah pernyataan; “Jaga ekspektasimu pada tingkatan yang moderat. Tidak terlalu tinggi, juga tidak rendah. How PPSDMS works is shaped by you, all of you!

Apabila diandaikan dengan sebutir intan, seberapa berkilau kualitas diri kita ditentukan oleh seberapa sering kita “menggosoknya”. PPSDMS adalah gerindanya. Apabila ia dimanfaatkan dengan baik, maka ia bisa mengilapkan kualitas diri dan lingkungan kita. Namun, apabila kita hanya berharap mendapatkan sesuatu dari sini maka bersiaplah untuk tidak menemui beberapa harapan tersebut.

Semoga kita dikuatkan dalam menjalani penempaan yang biasa disebut orang ‘a la Kawah Candradimuka‘ ini.

Selamat berproses, selamat mendewasa!

psdmss

Categories: kehidupan bermahasiswa | Tags: , , | 2 Comments

Mahasiswa Mengajar, Bangun Indonesia

Bagian ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi agaknya sering terlupakan oleh mahasiswa masa kini. Pengabdian masyarakat yang menjadi output paling konkret dari pendidikan malah menjadi bagian yang terkesan paling dikesampingkan dari perjalanan berkuliah seorang mahasiswa. Padahal tanpa pengabdian masyarakat, pendidikan akan menjadi layaknya singa ompong. Pendidikan akan menjadi teori belaka yang kosong perwujudan.

Salah satu bentuk pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan mahasiswa adalah mengajar. Konteks mengajar yang dimaksud dapat berupa mengajar les, menjadi tutor di lembaga bimbingan belajar, atau menjadi sukarelawan mengajar di lingkungan terdekatnya. Namun dalam tulisan ini, saya memfokuskan bahasan kepada pengajaran oleh mahasiswa yang sifatnya suka rela di tempat-tempat yang minim akses pendidikan.

Mengajar menjadi pilihan yang baik bagi mahasiswa karena akses terhadapnya relatif mudah. Banyak organisasi kemahasiswaan maupun organisasi sosial lainnya yang menyediakan sarana untuk mengajar dan membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin berperan serius untuk ikut. Tinggal mahasiswanya yang aktif mencari untuk selanjutnya berpartisipasi.

Pisau Bermata Dua

Diperkirakan, ada sekira 4,8 juta mahasiswa di Indonesia pada 2011. Angka ini dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, jumlah tersebut mumpuni untuk menjadi pengajar di berbagai pelosok negeri ini. Andaikata lima persen saja dari jumlah tersebut berperan dalam proses pengajaran, jumlah warga negara yang tercerdaskan tentu akan sangat banyak.

Di sisi lain, angka tersebut hanya merupakan 18,4 persen dari jumlah rakyat Indonesia berusia 19-24 tahun yang berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Artinya, di pundak sejumlah kecil orang (baca: mahasiswa) itulah beban memperbaiki nasib rakyat diletakkan.

TPA Desbin

Pengajaran oleh mahasiswa via lembaga kemahasiswaan relatif akan kontinu, karena setiap tahun akan ada mahasiswa baru yang masuk ke kampus-kampus di negeri ini. Oleh karena itu, akan selalu ada energi baru untuk menggerakkan proses pengajaran oleh mahasiswa.

Objek yang umum dijadikan target mengajar mahasiswa adalah anak-anak. Kita sama-sama meyakini bahwa generasi muda di zaman sekarang adalah penggerak di masa yang akan datang. Pendidikan di usia dini menjadikan mental anak-anak tersebut terbentuk sejak awal, sehingga mereka akan siap dibentuk menjadi generasi penerus perjuangan bangsa.

Mutualisme dari Mengajar

Dari pengalaman pribadi penulis mengajar di salah satu pelosok Yogyakarta selama beberapa bulan, ditambah dengan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pengajar di area lain provinsi yang sama, didapatkan kesimpulan bahwa anak-anak senang bila diajari oleh mahasiswa karena metode yang digunakan lebih kreatif dan variatif jika dibandingkan dengan pola pengajaran formal di sekolah mereka masing-masing. Oleh karena itu, proses belajar mengajar yang menyenangkan anak-anak tersebut dapat menjadi alternatif penggunaan waktu yang produktif jika dibandingkan dengan menonton televisi, yang biasa dilakukan anak-anak masa kini pada waktu-waktu senggangnya.

Dengan mengajar pula mahasiswa dapat memberikan akses pendidikan kepada masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya mungkin amat sulit mereka dapatkan. Mengajar di pelosok juga dapat menjadi pengalaman yang membahagiakan sekaligus mendewasakan. Realitas sosial akan lebih dulu dirasakan oleh mahasiswa yang “turun langsung” ke masyarakat dibandingkan yang hanya belajar lewat diktum-diktum kuliah. Saya rasa wawasan mengenai realitas sosial ini penting dimiliki oleh mahasiswa untuk menghadapi kehidupan pascakampus.

Hanif Ibrahim Mumtaz
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Pengajar di Desa Binaan Keluarga Muslim Fakultas Hukum UGM – Jojoran Kulon – Bantul

Alhamdulillah, dimuat di:
http://kampus.okezone.com/read/2013/02/13/95/760972/mahasiswa-mengajar-bangun-indonesia

Categories: kehidupan bermahasiswa | Tags: , , , , , , , , , | Leave a comment

UTS (Jilid III)

Categories: Uncategorized | Tags: , , | Leave a comment

[sebuah opini] Why Amendment?

Seperti yang umum kita ketahui, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami 4 kali perubahan. Ketika sebuah grundnorm itu diadakan perubahan didalamnya, pastinya ada sesuatu yang mendasar yang menjadi alasannya. Mengingat bahwa Undang-Undang Dasar adalah dasar dari berjalannya hukum di suatu Negara.

Negara ini, Indonesia, telah mengalami beberapa era pemerintahan, sejak Orde Lama hingga yang saat ini berjalan–Reformasi. Waktu membuktikan bahwa Negara ini kurang menginginkan sistem yang dijalankan oleh Soekarno dan Soeharto. Oleh karena itu, senapan waktu yang ditarik pelatuknya pada pertengahan tahun 1998 telah membuka halaman baru dalam sejarah Bangsa Indonesia, yaitu saat dimulainya era reformasi yang hingga saat ini, kita masih enjoy untuk berada di dalamnya.

Negara Indonesia, seperti yang tertuang di dalam Pasal 1, ayat (3) UUD 1945, adalah Negara hukum. Sejauh yang saya ketahui, dalam konsep Negara hukum, yang menjadi rujukan tertinggi dalam mengambil keputusan adalah hukum. Sehingga ‘tingkat keadilan’ suatu hukum akan sangat berpengaruh terhadap perjalanan bangsa tersebut.

Jika kita perhatikan Undang-Undang Dasar sebelum perubahan memiliki ciri yang cukup khas, yaitu kekuasaan berat kepada lembaga eksekutif, khususnya presiden. Hal ini, menuruh Mahfud MD, menjadikan presiden sebagai penentu seluruh agenda politik nasional.

Ada sebuah adagium dari Lord Acton yang berbunyi “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Seperti yang kita tahu, kekuasaan yang terlalu besar dan tidak terdistribusi cenderung akan menuai otoriteritas. Itulah alasan pertama mengapa perlu diadakan perubahan dalam UUD 1945.

Kedua, Undang-Undang dasar memuat pasal-pasal penting yang klausulanya terlalu umum, sehingga dapat menimbulkan multitafsir. Terlebih pada zaman Orla dan Orba tafsir yang harus dianggap benar adalah tafsir dari pemerintah secara sepihak. Contohnya, pada Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan, tertulis bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

Hal ini tentu saja dapat dimanfaatkan oleh presiden yang sedang menjabat untuk mencalonkan diri lagi dan lagi. Karena tidak ada batasan yang tegas terhadap masa jabatan maksimum yang boleh dijalani oleh seseorang. Karena itulah pada perubahan III ditambahkan klausula bahwa presiden dapat dipilih lagi hanya untuk satu kali masa jabatan.

Karena itu tentu saja perlu diadakan perubahan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal mendasar lain yang terdapat dalam perubahan yang berlangsung hingga 4 kali ini adalah dimuatnya masalah-masalah HAM secara rinci. Yang mana ini merubah posisi pengaturan HAM yang tadinya hanya berupa Undang-Undang yang dirancang oleh legislatif (yang tidak lepas dari pengaruh eksekutif) menjadi pasal-pasal yang tertera di konstitusi republik ini.

Keuntungan dari dimuatnya pasal-pasal tentang HAM secara rinci, pengawasan terhadap penerapan perlindungan HAM oleh pemerintah akan semakin mudah. Sehingga perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945, dapat dilaksanakan dengan baik. Bukannya seperti yang terjadi di masa Orde Baru, dimana jika ada orang yang tidak sependapat dengan kebijakan pemerintah (yang terkadang curang) akan dianggap subversif dan akan ditangkap.

Terakhir, dengan ditambahkannya pasal 28A hingga 28J, Hak Asasi Manusia menjadi semakin terjamin. Terutama yang ingin saya soroti, pasal 28F yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan informasi melalui segala jenis saluran yang tersedia. Dengan demikian, masyarakat dapat mengomunikasikan pendapatnya melalui media dan aksi-aksi lainnya yang dampaknya adalah pengawasan yang lebih baik terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Negara ini.

Categories: kehidupan bermahasiswa | Tags: , , , , | Leave a comment

Aksi KMFH di Desa Binaan

Akhirnya sampai juga kami pada tanggal yang ditunggu-tunggu, 5 November 2011. Di sore hari Jumat yang cerah, kami berkumpul di sekitar Mushola Baitul Hakim, markas kami para Pengurus KMFH, untuk berangkat bersama ke desa binaan KMFH; Desa Jojoran Kulon, Bantul. Rencananya, kami akan melaksanakan Shalat Idul Adha dan memotong hewan kurban bersama dengan warga desa tersebut.

logo kmfh ugm

Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)

Hadits ini dishahihkan oleh Nashiruddin al Albani didalam “ash Shahihah” nya.

Terinspirasi oleh hadits diatas, kami sangat antusias untuk menuju ke sana, karena bagi sebagian dari kami, acara ini merupakan pertama kalinya “turun langsung ke masyarakat”. Mata-mata berbinar terlihat di sekitar. Terutama para angkatan 2011.

Transportasi utama yang akan membawa kami ke sana adalah sebuah Bis Kota yang disewa. Namun, karena kendala kapasitas, maka beberapa dari kami memilih untuk menggunakan motor untuk sampai di sana. Setelah perjalanan selama sekitar 1 jam, kami sampai di Desa Jojoran Kulon, sebuah desa berpenduduk ramah yang berada di sebelah barat Kota Yogyakarta. Udara petang yang hangat seolah menyambut kedatangan kami. Selanjutnya, kami dibimbing untuk menuju Masjid Al Himmah, satu-satunya masjid yang ada di desa itu.

Dinding semen yang belum rampung diplester dan dicat menjadi hal pertama yang dikesankan masjid tersebut. Kami menduga-duga, mungkin disebabkan keterbatasan dana yang dimiliki desa tersebut. Langit-langit masjid yang tidak berplafon dan digunakan laba-laba untuk bersarang menambah kuat rasa prihatin kami terhadap desa itu. Namun, disamping semua hal menyedihkan tersebut, kami bersyukur di desa itu masih ada masjid.

Waktu Maghrib datang. Kami pun bersiap untuk shalat berjamaah bersama warga desa. Uniknya, untuk berwudhu, kami harus menimba air terlebih dahulu. Ternyata Desa Jojoran Kulon ini merupakan salah satu desa yang kering dan sulit untuk mendapatkan air. Hal itu dapat dilihat dari kedalaman sumur yang “hanya tuhan yang tahu”. Permukaan air sumur tidak dapat dilihat karena berada jauh di kedalaman.

Setelah Shalat Maghrib dan makan malam, kami bergantian mengumandangkan takbir di Masjid Al Himmah sambil menunggu datangnya waktu Azan Isya. Setelah Azan Isya dikumandangkan, kami pun shalat. Selepas Shalat isya, Bapak Takmir Masjid menyampaikan sambutan kepada kami, dalam Bahasa Jawa.

Beberapa dari kami mengerti, tetapi sebagian lagi tidak. Maklum, Ia menggunakan Bahasa Jawa Kromo Hinggil alias Bahasa Jawa yang sangat sopan. Bahkan beberapa dari kami yang orang jawa pun kadang mengernyitkan mata tanda tak mengerti. Ia acapkali menyebut kami ‘Mahasiswa-mahasiswi UGM Ngayogyakarto’. Tak sekalipun ia memanggil cah UGM atau anak UGM. Mungkin inilah bentuk penghormatan mereka bagi kami, sekaligus menunjukkan kesopanan njawaning desa tersebut.

Ketika Bapak Takmir Masjid selesai menyampaikan sambutannya, Rahmat Hisyam Pamady mewakili kami dalam memperkenalkan profil KMFH dan tujuan kami berada di Desa Jojoran Kulon, tentunya dalam Bahasa Jawa.

“Kawulo perwakilan saking mahasiswa muslim Fakultas Hukum UGM ngaturaken agungin pangapunten, kalian ngaturaken panuwun sewu, kawulo kalian rencang-rencang badhe ngawontenaken acara semarak Idul Adha dateng dusun Jojoran Kulon sameniko”, demikian ujarnya sambil tersenyum dan mengangguk-angguk, meniru gesture Pak Takmir ketika menyempaikan sambutannya tadi.

Di belakang layar, Ia memberitahukan arti kata-katanya kepada kami. Intinya Ia menyampaikan permintaan maaf jika kedatangan kami akan merepotkan, serta meminta izin untuk mengadakan acara Semarak Idul Adha dan pemotongan hewan Qurban di Desa Jojoran Kulon. Beberapa sambutan lain juga disampaikan oleh Ketua Rangkaian Acara Semarak Idul Adha dan Muslim Law Fair 2011, Ginanjar Julian Azizi, serta oleh Kepala Desa Jojoran kulon. Lalu dilanjutkan dengan ceramah oleh Ketua KMFH Ahmad Fikri Mubarok.

Ceramah kali ini sedikit berbeda dengan ceramah pada umumnya. Bukan topik atau cara penyampaiannya yang berbeda, melainkan kondisi ruangan masjid saat itu. Tanpa kami menduganya, satu demi satu laron berdatangan. Tak disangka, akhirnya ribuan laron berputar-putar di sekitar kami malam itu, seolah-olah mengucapkan selamat datang.

“Pfueh pfueh!!” salah satu teman kami secara refleks tiba-tiba meludah.

Ternyata seekor laron memasuki mulutnya yang sedang menganga. Kami pun tertawa melihat tingkahnya.

Perhatikan laron di sekitar…

Acara selanjutnya adalah takbiran serta pawai obor bersama anak-anak kecil warga desa tersebut. Belasan anak kami ajak untuk ikut berkeliling desa mengumandangkan takbir dan tahlil. Semangat mereka terlihat begitu menggelora. Celoteh dan tawa menghiasi perjalanan kami bersama belasan anak-anak desa di malam itu.

Semangat yang meletup-letup ditunjukkan oleh Ryan Gusti, pemandu jalannya acara pawai obor ini. “Ayo, semua ikuti saya. Harus kompak. Allaahuakbar!!!” begitu semangat terdengar suara dengan logat Sumatranya. Jalan tanah yang lengket dan dinginnya malam tidak begitu kami rasakan. Mungkin karena kehangatan acara malam itu. Mata dari beberapa kami terlihat begitu berbinar dan begitu bahagia, mungkin baru kali ini merasakan arti kepedulian itu secara langsung.

Perjalanan malam itu pun berakhir di halaman masjid. Kami berharap agar tradisi baik di malam takbiran ini terus terjaga di desa ini.

***

Esoknya, kami bangun tidur sekitar setengah jam sebelum waktu Subuh. Sehingga beberapa menit setelah kami melaksanakan Qiyamullail, Azan Subuh langsung dikumandangkan. Sehabis shalat subuh, kami harus kembali menghadapi realita keterbatasan air di masjid tersebut. Akhirnya, sebagian dari kami memilih untuk menimba air untuk mandi. Beberapa lainnya memutuskan untuk mendatangi rumah warga dan menumpang mandi disana.

“Sekalian silaturahmi”, begitu ujar mereka.

Saat Sholat Idul Adha dilaksanakan, para jamaah yang berwajah cerah mengisi penuh masjid yang sederhana itu. Ketika khutbah ied disampaikan, kami kembali mengernyitkan mata. Maklum, banyak dari kami yang masih beradaptasi dengan Bahasa Jawa. Sesudah khutbah, kami saling menanyakan, “Ngerti ora kowe?” kebanaykan menggelengkan kepala tanda tak mengerti.

Tiba saatnya pemotongan hewan qurban. Selagi para warga dan beberapa anggota KMFH laki-laki memotong hewan qurban dan mengolahnya, anak-anak kami ajak untuk bermain di pelataran Masjid Al Himmah. Memang awalnya sulit mengajak mereka untuk bermain bersama. Mungkin karena masih asingnya kami di mata mereka. Namun, setelah upaya yang cukup lama dan diiming-imingi susu botol, mereka akhirnya mau mengikuti kami bermain uji konsentrasi dan kekompakan. Gelak tawa memenuhi suasana di pagi hari itu. Kami berpikir, anak-anak kecil ini harus sering mendapatkan kegiatan postif sekaligus menyenangkan seperti ini. Jika tidak, mungkin hanya televisi dan hape yang akan memenuhi keseharian anak-anak ini.

Setelah 9 ekor kambing qurban rampung diolah dan dibagikan, kami bersiap untuk meninggalkan Desa Jojoran Kulon. Kesadaran akan keberadaan saudara-saudara kita yang nasibnya kurang beruntung begitu melekat di hati kami. Pesan terakhir Bapak Takmir Masjid sebelum kami pulang adalah, jadilah mahasiswa yang berguna di dalam dan di luar kampus. Kami diharapkannya untuk menjadi orang yang berpengaruh agar bisa membangun desa ini, serta desa-desa lainnya di seluruh negeri ini.

Rintik gerimis di siang hari itu menemani kepulangan kami dari Desa Binaan Jojoran Kulon. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan telah kami lalui. Semoga harapan Bapak Takmir Masjid bisa kami wujudkan.

Semoga…

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

{QS. Ali Imran: 110}

Photo Gallery

Categories: kehidupan bermahasiswa | Tags: , , , , | Leave a comment

Ini cerita NF-ku. Bagaimana ceritamu?

Mari maju bersama Allah menuju Masa Depan Cemerlang

“Hmm… Slogan yang menarik”, pikirku waktu itu; semester 2-ku di kelas XI SMAN 34 Jakarta. Berbekal ketidaktahuan dan kecintaanku kepada iklan (nah, ini sesuatu banget. Aku jauh lebih suka menikmati iklan dalam bentuk brosur, flyer, TVC dsb. dibandingkan membaca review, sekalipun yang paling objektif dan akurat. Huahahahaha), aku menguatkan hati untuk mengikuti bimbel Nurul Fikri ketika awal kelas XII nanti. Bismillah.

Kita melompat ke topik lain dulu ya…
*wouush*

Sebagai informasi, sejarah kelam persekolahanku (?) di bidang eksakta entah mengapa selalu berulang. Hal ini dimulai pada kelas 4 SD, dimana aku mulai menyadari ada yang salah dengan logika matematika-ku. Aku dapat nilai 50 di EHB semester 1. Aku menjawab 10 soal dengan tepat. Sayangnya soalnya ada 20. Azzzzt~

Di kelas 5, kami sekelas diwajibkan untuk mengikuti les matematika bersama Bu Yayah (wali kelas 5B waktu itu). Ada sebuah challenge yang beliau ajukan; siapa yang dapat meyelesaikan 5 soal darinya, boleh pulang. Dan apa yang terjadi sodara-sodara, aku hampir selalu pulang terakhir. -,- Hal ini terus berlangsung selama hampir 1 tahun. Namun, di akhir masa kelas 5 aku menyadari bahwa aku memang kurang bisa mengatasi persoalan eksak, maka aku harus berusaha lebih dari yang lain.

Waktu-demi-waktu pun berlalu, dan aku mampu menjadi yang tercepat keluar dari kelas les-nya Bu Yayah. Hore… tepuk tangan!

Kali ini kita bicara proses pembelajaranku di kelas 7 MTsN 3. Di sinilah aku mulai mengenal pelajaran yang namanya Biologi. Tau ‘kan, pelajaran biologi awal SMP adalah menghafalkan -logi -logi itu.
bla bla logi adalah ilmu yang mempelajari tentang bla bla… planologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perencanaan tata ruang kota (mana ada planologi di kelas 7).

Lagi-lagi, hasilnya adalah kekacauan nilai biologi. Ditambah lagi dengan fisika. Bagaimana agar lampu A dapat menyala? Tunjukkan aliran arus listriknya *dalam hati, ya ampun pak, mending ajarin kita agar mengeringkan tangan sebelum memencet saklar. Biar ngga kesetrum*. Intinya, tahun-tahun awal bersekolahku seringkali tidak dapat disebut “terpuji”. Namun, aku bisa menjadi ranking 1 di akhir kelas 9, dan nilai UN-ku terbaik kedua se-sekolah (how could? well, HE is ALWAYS there to give the best for your effort). Alhamdulillah.

Ketika aku dapat memasuki SMA 34 dengan (alhamdulillah) jujur dan bersih, aku merasa sangat berbahagia bisa menjadi bagian dari sekolah yang katanya bagus ini (padahal milih nih sekolah gara2 waktu disurvei masjidnya terasa adem dan ada air mancurnya, serius ‘cuma’ itu alasannya). *oh baitul ilmi :’-)*

Bisa ditebak kan, aku mau ngomong apa… Yah, ketika masuk SMA, nilai-nilai akademis-ku kembali kacau. Aku mengalami cultural shock yang sangat besar. Di sini kita dituntut untuk mengerjakan banyak (eh, salah. Buuaanyaak) tugas dalam waktu yang sempit. Serius, lebih banyak dari pada semseter satu di FH UGM. Ehm… ranking 35 dan nilai kimia semester 1 sebesar 39 pastinya akan cukup menjelaskan kondisi saat itu. Dari seluruh ulangan harian selama setahun belajar kimia di 34, aku berhasil tidak remedial SATU KALI, yaitu di bab Elektrolit. Sisanya yang sekian belas bab plus UTS-UAS; selalu remedial. Nilai-ku tidak pernah menyentuh batas minimal 75.

Namun, di akhir masa sekolahku di 34, aku bisa lulus UN dengan jujur. Alhamdulillah.

kok aku selalu diizinkan untuk mengejar ketertinggalan di akhir waktu ya? wallahu a’lam.

kembali ke per-NF-an lagi
*wouush*

Pada awal tahun 2010, sedang hot-hotnya berita tentang kemana studi tur 34 akan dilangsungkan. Yang pada akhirnya diputuskan ke Jogja (dilaksanakan di Juni 2010). Mayoritas teman-teman sangat antusias untuk mengikuti acara ini. Bagaimana denganku? Apakah pengen untuk ikut? Tentu saja, PENGEN BANGET.

Mamah pun menyarankanku untuk ikut. Tapi, entah dapet bisikan dari mana, aku memutuskan untuk bilang ke mamah, “ga usah ikut deh mah. Lumayan kan 700rb bisa untuk nambahin bayar NF” *ya ampuun, gak kebayang seorang gue bisa ngomong gitu*

Tahukah kalian rasanya menyaksikan bus pariwisata, yang berisi teman-teman yang menuju jogja, mulai meninggalkan jalan di depan sekolah? #curhat

342011

Ya Allah, tingkat kepengenan gue sangat membara waktu liat foto ini

Apa lagi pas mereka pulang membawa foto-foto selama di sana. Ada sesi foto di depan Grha Sabha Pramana juga lagi. Wow, ngiri sangat! Tapi, genderang telah ditabuh. Mengapa harus menyesal dan mundur? *tsahh* mari maju ke medan juang. Di awal kelas 12, mulailah aku mengikuti NF. Tentu saja sangat ngga asik awalnya. Biasanya pulang sampai rumah jam 5-an. Pas udah mulai NF, setiap Senin dan Rabu harus rela sampai rumah jam 8.30 malam.

Begiituu terus berulang-ulang, sampai akhirnya timbul rasa males. Rekor terburukku adalah tidak datang tiga pertemuan berturut-turut. Cuma hasilnya adalah ketertinggalan yang cukup jauh (maklum, PPLS memang gayanya demikian). Singkat kata, try-out demi try-out dijalani. Dan akhirnya bisa mendapat nilai yang bisa dibilang “aman untuk masuk FH UGM”. Oh iya, dalam perjalanan ber-NF, tidak semua dari kita bisa istiqomah loh. Ada juga yang merasa terganggu kenyamanan hidupnya, dan sering bolos pada pelajaran-pelajaran tertentu.

Ada pelajaran BIP, aku lupa singkatan dari apa, yaitu pelajaran akhlak islami, konseling, dan merupakan waktu yang disediakan oleh NF untuk bertanya-tanya tentang bagaimana menghadapi SNMPTN dan menghadapi kuliah nanti. Pelajaran ini merupakan pelajaran favorit kebanyakan dari kita, untuk cabut pulang. Huehehehe. Sampai-sampai sang gurunya terlihat sedih. Karena di jam sebelumnya kelasnya penuh, tapi pas pelajaran dia tiba-tiba berkurang sebesar 67%.

Nah, di sinilah terjadi hal yang luar biasa. Aku entah mengapa bisa membaca kesedihan di mata pengajarnya, lalu berdo’a; ya Allah, luluskanlah kami, yang memilih untuk bertahan ini, di Perguruan Tinggi yang kami inginkan dan engkau kehendaki. And the result is: 100% dari yang memilih untuk mengikuti pelajaran di hari itu, dapet PTN yang diinginkan dan (insya Allah) tepat bagi mereka.

Seratus persen.

Aku sebutin yang kuinget aja ya… Manajemen UIN, Sastra Jepang UI, Komunikasi UI, MIPA UGM, FH UGM, dan masih ada lagi yang belum tersebutkan.

To get something special, you have to do something special.

Aku sangat meyakini kalimat diatas. Oh iya, mungkin kakak pengajarnya juga mendoakan kita-kita yang waktu itu memilih untuk bertahan di kelas BIP.

nilai nasionalku

Ini nilai prakiraan nasionalku. Nilai minimal masuk FH UGM adalah 675. Jadi kira-kira bisa lah masuk 😀

Mendekati pelaksanaan ujian SNMPTN, kami mulai “sadar diri”. Kami harus benar-benar berkorban agar bisa mendapatkan yang kami cita-citakan. Hehehe… kami tiba-tiba jadi rajin mengerjakan soal-soal Problem Set. Tiba-tiba jadi sering konsultasi sama kakak-kakaknya (trims Kak Sri, Kak Rahmat, Pak Max, dan Ibu, Bapak, Kakak lainnya yang belum disebutkan). Namun, tetep aja yang namanya Matematika, lagi-lagi tidak bersahabat sama diriku. Kalau pelajaran sosiologi, bisa nyesel abis kalau nggak bisa mengisi dengan benar 10 dari 15 nomor soal. Tapi kalau matematika bisa ngisi 2 nomooor aja, akan terasa bagaikan ada Ray of Light muncul dari awan… SFX: Whoang-whoang-whoang~

Kalau matematika bisa ngisi 4 nomor, berarti kepribadianku yang lain yang ngerjain. :p *ya, beneran separah itu keadaannya*

chart kemdas

Lihat betapa wow-nya nilai matematika dasarku. Nilai maks: 60 per-mata ujian.

But, thanks to Ali Arab, Fady, Dapit, dan Galih yang mau mengajariku matematika (pasti kalian kesulitan melakukannya :p). Dengan segenap usaha, akhirnya bisa juga pas SNMPTN ngerjain 5 NOMOR dengan benar. Ya ampun, harusnya gue masuk MURI tuh. Alhamdulillah..

***

30 Juni merupakan tanggal paling dagdigdug bagi kita-kita para peserta SNMPTN. Semua kemungkinan bisa terjadi pada tanggal ini. Oh iya, aku sudah mempersiapkan diri jika tidak lulus, mau memulai bisnis peternakan bebek. Ini serius. Lebih detilnya tentang kondisi tanggal 30 ini bisa dibaca di blognya Mamah. http://endohsite.blogspot.com/2011/11/jogja-i-am-coming.html

Alhamdulillah. Kehidupanku memang misterius dan tidak pernah bisa lepas dari kata Alhamdulillah. Aku ditakdirkan untuk melanjutkan belajarku di UGM. Saat itulah kurasakan apa yang namanya “nyengir 1 jam”. Nearly 1 jam, aku tidak bisa mengekspresikan apapun kecuali nyengir. 😀

Walau tidak bisa berada di depan GSP bersama teman-teman 34, at least sekarang aku bisa kapanpun datang ke GSP 😀

Alhamdulillah, alhamdulillah, all praise is to Allah, all praise is to Allah.

Terima kasih untuk Bimbel Nurul Fikri yang telah menjadi salah satu sebab yang mengantarkanku menuju batu loncatan selanjutnya untuk menggapai impian-impianku. Insya Allah. 🙂

me on ugm

Alhamdulillah. Bisa berada di jogja secara "sejati" 😀

Categories: impian | Tags: , , , , , , | 3 Comments

Create a free website or blog at WordPress.com.