Empat Belas Tahun Kulit Telur

Kulit telur dan tepung yang mengeras di suatu sudut jalan Kabupaten Bungo, mungkin, bekas surprise ulang tahun seseorang bisa saja tidak berarti apa-apa bagi banyak orang. Namun bagi seorang anak Pak Ahmad Muayad, keadaan tersebut mampu menghentikan langkah dan membuatnya putar balik dan berjongkok di depannya. Berkontemplasi.

Pikiranku bergerak mundur ke peristiwa sekitar 14 tahun lalu. Pertengahan tahun 2004, aku sedang berada di acara berkemah bersama tim Pramuka SD. Kami diutus untuk mewakili sekolah untuk berkegiatan Pramuka ke Sekolah Al Falaah Ciputat. Sewajarnya kegiatan perkemahan, kami diharapkan untuk memasak sendiri makanan kami (tentu saja kami bermufakat mie instanlah yang menjadi pilihan menu). Saat itu, aku ditugasi untuk membawa telur setengah kilogram. Tanpa kuharapkan, telur-telur yang dibawa dalam plastik kresek bening tersebut sebagian besar pecah karena kurang perhitungan ketika menaruhnya di dalam tas. Dengan rasa kecewa bercampur bersalah, kusampaikan hal tersebut kepada teman-teman se-tim. Dengan ringan mereka menjawab, “ga apa-apa, buang aja ke sana, Nif”, sambil menunjuk tempat nabun (membakar sampah) di bawah juntaian pepohonan bambu. Kubuka sebentar plastik tersebut. Bau amis menyeruak.

“Oke”, bleng, dengan hati lega kulemparkan plastik berisi telur-telur pecah tadi ke tumpukan sampah.

Senja hari pun tiba, para orang tua peserta dibolehkan untuk datang menjenguk anak-anaknya yang sedang asyik berpramuka. Bapakku datang ke tenda kami tepat ketika kami sedang memasak mie di tungku di luar tenda. Melihat mie yang sedang kuaduk tidak ada telurnya, ia bertanya ke mana telur yang kubeli kemarin di warung Bang Ocim. Tanpa rasa bersalah kuarahkan telunjuk ke pepohonan bambu sambil berkata, “di tempat sampah, Pah. Pada pecah telurnya.”

“Semuanya?” tanyanya.

“Kayaknya sih ada yang ngga pecah”, jawabku ketakutan.

Dengan gusar ia berjalan ke bawah rindang bambu, mengubek-ubek tumpukan sampah, dan akhirnya mengangkat sebuah plastik bening lalu membukanya. Ia kemudian mengambil beberapa telur yang masih utuh dan melemparkan kembali sisanya ke tumpukan. Kulihat ia kemudian mencuci telur-telur tersebut di kran air terdekat.

Kemudian, dengan mata memicing, ia berjalan ke arahku dengan membawa dua butir telur.

“Nih, dimasak telurnya! Jangan menyia-nyiakan makanan!” katanya setengah berteriak. Sedikit side story, bapakku ini kalau bicara dalam bahasa percakapan pun, seringkali menggunakan bahasa formal. I guess now I know where an alike behavior comes from.

Kembali ke cerita, dua butir telur itu, sodara-sodara, pada saat itu harganya hanya sekitar 1.200 atau 1.400 rupiah! Tetapi ia tidak biarkan ‘hal receh’ itu membuat anaknya meremehkan suatu perbuatan. Kebaikan atau ketidakbaikan sekecil apapun kalau ditumpuk, suatu saat, akan menjadi hal yang signifikan.

Aku tidak tahu pasti mana yang menjadi faktor paling substansial dari kegeramannya tersebut, apakah an sich prinsipnya untuk tidak menyia-nyiakan makanan, ataukah memang karena kondisi ekonomi yang, pada ujungnya bermuara kepada hal yang sama, membuatnya tidak tega melihat makanan tersia-siakan. But one way or another, nyaris setiap hal yang ia lakukan didasari dengan prinsip yang diyakininya.

Dan ia tak segan-segan mengorek tempat sampah untuk menegaskan kepada anaknya bahwa hidup itu harus didasari prinsip. Ia adalah pria yang berjalan ‘dengan kepalanya’.

I am still far faraway from him, both figuratively and literally.

However, terima kasih kulit telur, you gave me a reminder about where to set my foot on.

Semoga mendapat ampunan dan keselamatan di sana, Pah.

– – –

Lorong Kehakiman, Bungo, Jambi, 28 April 2018

Dari pengagum yang sedang berpetualang sambil berusaha menjadi penerusmu.

Ini dia kulit telurnya!

Categories: Family | Tags: , , | Leave a comment

50 Tahun Ahmad Muayad dan Perandaian

Aku pernah dengar, muslim itu harus menjauhi berandai-andai. Tapi, aku tetap akan berandai-andai dan semoga per-andai-anku ini dapat diikuti pemaknaan positif.

banner papah

Andai engkau masih ada, mungkin saja sikapku tidak seperti hari ini: ungovernable. Aku kehilangan sosok pengatur sejak usia yang masih dini, mungkin karena itulah aku sulit hormat terhadap orang yang kurang pantas dihormati. Mungkin aku dimintaNya untuk belajar lebih keras untuk bisa menghormati.

Andai engkau dulu lebih menjaga penggunaan gelas dan piring di perantauanmu agar tak campur-campur, mungkin kau tak usah tertular penyakit yang membuat livermu rusak dan harus meninggalkan keluarga di usia 38. Ah, kiranya ini agar menjadi pelajaran buat kami kaum muda yang agak sembrono terhadap hal-hal yang demikian.

Andai engkau sekarang masih ada, mungkin aku ingin banyak sekali bertanya tentang hal-hal yang baru belakangan ini aku ketahui: liberalisme, gerakan Islam transnasional, proses reformasi ’98 yang kau liput langsung. Ah, mungkin ketiadaanmu bermakna perintahNya untuk lebih sering membuka “book” ketimbang “facebook”.

Hari ini, 28 April 2015 adalah tepat 50 tahun dari hari di mana engkau dilahirkan di Lampung sana. Lahir dari keluarga kiai sekaligus militan Heiho yang kerapkali harus ekodus setiap kali perjuangan kemerdekaan kembali memanas.

Di usia 50 tahun, beberapa pemikir sudah menghasilkan banyak karya. Bahkan beberapa orang di usia 50 sudah diabadikan dalam Biografi atau ‘catatan pemikiran’. Aku cukup yakin, andai engkau masih hidup kau pun bisa membukukan catatan yang sama, karena masa mudamu banyak kau dedikasikan untuk menulis berita. Ah, mungkinkah ini pertanda bahwa aku yang harus meneruskannya?

Akhir kata, kini ketiadaanmu malah menegaskan bahwa kau benar-benar ‘ada’.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.

Ahmad Muayad, 28 April 1965 – 1 November 2004.

Categories: Uncategorized | Leave a comment

Islamophobia dan Obatnya (?)

Pantaskah hanya karena rasa khawatir yang amat besar, kita menghilangkan objektivitas terhadap sesuatu?

Dalam tulisan kali ini, kita akan mengulas sebuah jenis fobia, yaitu fobia terhadap Islam. KBBI mengartikan ‘fobia’ sebagai ketakutan yang sangat berlebihan terhadap benda atau keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya. Oxford English Dictionary mengartikan Islamophobia sebagai kebencian atau ketakutan yang besar terhadap Islam; atau pelabelan buruk terhadap Muslim (Intense dislike or fear of Islam, especially as a political force; hostility or prejudice towards Muslims).

Istilah Islamophobia ini populer setelah kejadian 9/11 atau Black September yaitu penyerangan terhadap gedung kembar World Trade Center dan Pentagon di New York pada 11 September 2001. Peristiwa yang menelan korban ribuan orang ini diduga dilakukan oleh orang-orang berkebangsaan Arab. Pengakuan oleh Al Qaeda bahwa mereka bertanggung jawab atas aksi teror tersebut menambah kuat justifikasi buruk terhadap umat Islam. Selanjutnya Islam disandingkan dengan terorisme.

Pasca kejadian, terlepas dari berita berbasis teori konspirasi yang menyatakan ia pun terlibat di dalamnya, Presiden Amerika Serikat pada masa itu George W. Bush Jr. menyatakan Perang Global Melawan Terorisme (Global War on Terrorism). Aksi awalnya adalah penyerangan terhadap Afghanistan dengan dalih Preemptive Attack karena Afghanistan dianggap “melindungi” keberadaan Taliban dan Al Qaeda yang masih mungkin untuk mengancam keamanan Amerika. Propaganda anti-terorisme dan kontraterorisme menjadi isu dan jualan politik yang amat laku pada waktu itu. Survei yang dilakukan terhadap Bush menunjukkan rating penerimaan masyarakat terhadapnya naik hingga angka 90% (Gallup 2001).

Tragedi 9/11 tersebut memberikan dampak yang serius terhadap pandangan masyarakat Amerika atau bahkan dunia terhadap umat Islam. Sejenak setelah peristiwa itu, banyak sekali pelecehan ataupun hate crime (penyerangan karena kebencian) yang dilakukan terhadap Muslim dan orang-orang Asia selatan (NYC.gov 2004). Ada pula seorang Sikh bernama Balbir Singh Sodhi yang dibunuh karena disangka merupakan seorang muslim.

Sekitar 12 tahun kemudian, tepatnya 15 April 2013, Bom Boston meledak. Peristiwa ini terjadi di tribun penonton pertandingan lari Maraton. Lagi-lagi tersangkanya beragama Islam. Kejadian tersebut seakan membangkitkan kembali Islamophobia. Bahkan ekses kejadian tersebut menimpa teman penulis yang sedang berkunjung ke Amerika. Karena mengenakan jilbab, ia beberapa kali dipanggil sebagai ‘anak setan’ oleh orang-orang di jalan.

Akar Islamophobia, menurut hemat penulis, setidaknya ada dua hal. Pertama, media massa yang tidak proporsional dalam memberitakan dunia Islam. Yang kedua, sikap ekstrem sementara umat muslim yang nantinya akan menjadi pembenaran bagi media tersebut. Kritik terhadap media yang tidak imbang mungkin tidak perlu kita bahas panjang lebar dalam tulisan ini. Salah satu gambarannya adalah pemberitaan mengenai pengeboman di Boston yang disebut sebagai krisis kemanusiaan dan terorisme, tetapi di sisi lain, tragedi di Gaza hanya disebut sebagai konflik bersenjata saja.

 

Ilustrasi sikap media massa (Gambar: thoughtscratchings.com)

 

Yang kedua adalah sikap ekstrem sebagian umat Islam. Kita tentu sepakat bahwa ekstremisme bukanlah sebuah perilaku yang humanis. Maka pertanyaannya, apa benar Islam agama yang mengajarkan ekstremisme?

Ada ungkapan dari Muhammad Abduh, yang menyatakan Islam rendah karena perilaku orang islam (al Islam mahjubun bil muslimin). Memang, apa yang dituduhkan kepada (orang) Islam memang beberapa benar adanya, seperti ekstremisme yang banyak terjadi di timur tengah. Belum lagi sikap tidak toleran terhadap ajaran lain, bahkan terhadap pendapat ulama yang berbeda dengan keyakinannya. Padahal, salah satu Imam Mazhab besar Imam Malik pun berkata, “saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapat ku. Bila sesuai dengan Al Quran dan Sunnah, ambillah; dan bila tidak sesuai dengan Al Quran dan Sunnah, tinggalkanlah (Bar, h. 72 dalam Al Albani 1996, h. 56).

Sesungguhnya umat Islam diamanatkan untuk menjadi ummatan washatan (umat yang tengah-tengah). Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka menerangkan bahwa Quran Surat Al Baqarah ayat 143 menuntut umat Islam untuk menjadi umat yang berada di tengah-tengah. Makna dari berada di tengah adalah seimbang dalam memandang dunia dan akhirat. Islam merupakan titik tengah dari ajaran Yahudi yang terlalu duniawi dan Nasrani yang terlalu ukhrawi, menurutnya.

Menjadi umat yang tengah-tengah artinya juga menjadi umat yang moderat dalam bersikap. Korelasi dari keseimbangan dunia–akhirat dengan sikap moderat ada pada metode dalam berdakwah. Dakwah ilallah yang tidak moderat atau tidak memerhatikan konteks kemanusiaan akan membuat objek dakwah menolak apa yang ingin kita sampaikan.

Ketua Persatuan Ulama Internasional (The International Union of Muslim Scholars) Dr. Yusuf Al Qaradawi berpendapat bahwa tujuan lebih diutamakan ketimbang penampilan luar (Qaradawi 2008). Kita perlu menyelami pelbagai tujuan yang ada di dalam Syariah, mengetahui rahasia dan sebab-sebabnya, mengembalikan cabang kepada pokoknya, dan mengembalikan hal-hal yang parsial kepada yang universal. Karena mengetahui dari luar saja tidaklah cukup, demikian tulisnya.

Kuntowijoyo menyebut bahwa Islam bersifat universal dan kosmopolit (Kuntowijoyo 2008). Universal berarti nilai Islam itu lintas batas dan tak terpengaruh waktu. Kosmopolit artinya Islam dapat senantiasa hadir di berbagai bentuk kebudayaan tanpa perlu kehilangan identitasnya.

Salah satu perwujudan dari kemasan dakwah yang sesuai konteks sehingga dapat diterima oleh masyarakat adalah apa yang dilakukan oleh ulama Nusantara di masa perjuangan 1945. Nurcholis Madjid menyebut hubbul wathan minal iman (mencintai negara karena keimanan) merupakan landasan berpikir yang diajarkan para ulama di masa lalu, utamanya pada saat peperangan November 1945. Di masa itu, masyarakat Indonesia membutuhkan penyemangat dan ideologi dalam bergerak, dan di sanalah Islam masuk sebagai ideologi yang meliberasi.

Apabila kita tarik lagi lebih jauh, Islam juga berhasil diajarkan kepada masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, pada zaman Wali Songo melalui kesenian dan kebudayaan asli daerahnya. Contohnya melalui pentas wayang dan lagu-lagu (Ricklefs 2012). Cara yang sesuai dengan tradisi dan kebudayaan masyarakat ini penting untuk diperhatikan, karena Islam bukan hanya untuk bangsa Arab saja.

Berikut ini merupakan paragraf yang dikutip dari buku Fiqih Prioritas karya Yusuf Al Qaradawi:

Kekeliruan yang sering kali dilakukan oleh orang-orang yang menggeluti ilmu agama ini ialah bahwasanya mereka hanya mengambang di permukaan dan tidak turun menyelam ke dasarnya, karena mereka tidak memiliki keahlian dalam berenang dan menyelam ke dasarnya, untuk mengambil mutiara dan batu mulianya. Mereka hanya disibukkan dengan hal-hal yang ada di permukaan, sehingga tidak sempat mencari rahasia dan tujuan yang sebenarnya. Mereka dilalaikan oleh perkara-perkara cabang saja dan bukan perkara-perkara yang utama. Mereka menampilkan agama Allah, dan hukum-hukum syariatnya atas hamba-hamba Nya dalam bentuk yang bermacam-macam, dan tidak menampilkan dalam bentuknya yang universal.

Pendekatan yang dakwah Islam yang moderat terbukti oleh zaman mampu membuat penyebaran Islam berhasil di Indonesia. Ketika ajaran agama dikolaborasikan–bukannya ditabrakkan–dengan kebudayaan masyarakat, penerimaan nilai-nilai keagamaan oleh khalayak pun menjadi semakin efektif. Apabila kita merangkum pendapat-pendapat ahli yang telah disampaikan di atas, maka benang merahnya adalah bahwa Islam merupakan ajaran yang universal dan kosmopolit. Islam “didesain” untuk bisa hidup di mana saja dan kapan saja. Oleh karena itu, umat muslim masa kini juga harus membuka dialog dengan aliran-aliran filsafat dan sains.

Kesimpulannya, boleh jadi Islam sukses disebarkan melalui profesionalitas kerja, atau mungkin melalui penegakan hukum dan struktur politik, atau bahkan lewat pentas budaya. Tidak ada sebuah bentuk mutlak atas perwajahan dakwah Islam. Pilihlah model yang paling cocok dan diterima oleh umat yang sedang dihadapi. Dengan begitu, insya Allah, Islam akan lagi dipandang sebagai sebuah ajaran yang tegas dalam prinsipnya, tetapi tetap terbuka, dinamis, dan relevan dengan masa kini.

Wallahu a’lam bisshawab

Categories: Opinio | Tags: , , , , , | Leave a comment

Istanbul Journal [Part 1 – Funding]

Activity Feeds Facebook di bagian kanan layar laptop ku bergerak ke bawah. Tertera di sana bahwa seorang teman menge-like sebuah fanpage bertajuk “DEYS 2013 Istanbul”. Begitu penasaran dengan kata “Istanbul”, aku pun memutuskan untuk masuk dan melihat isi dari fanpage tersebut. Ternyata DEYS 2013 adalah sebuah student conference. Acara tersebut akan dihelat di Kozyatagi Kultur Merkezi (bahkan dulu aku tidak yakin bagaimana cara mengucapkannya) Istanbul. Konferensi pelajar yang diadakan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Istanbul ini memiliki tema utama Democratic and Economics.

Merasa tertantang dan punya kesesuaian dengan minat, aku pun langsung mengajak seorang teman di asrama untuk mulai membuat garis besar dari makalah yang akan kami kirimkan ke panitia konferensi di Turki tersebut. Rajif, rekan setim ku, adalah seorang mahasiswa fisipol UGM yang cukup intelek. Ia pada saat itu menjabat sebagai Pimpinan Bidang Keilmuan Dewan Mahasiswa Fisipol UGM. Pengetahuannya di bidang politik dan governance terbilang cukup mendalam. Ia mengusulkan tema yang diusung di paper kami adalah mengenai ‘Bonus Demografi dan pemanfaatannya lewat pendidikan’.

Continue reading

Categories: impian, kehidupan bermahasiswa | Tags: , , , , , , | 5 Comments

Kawah Candradimuka, Ujar Mereka

oprec ppsdms 2014 low

Tepat 2 tahun yang lalu, 12 Juni 2012, di depan Musholla Baitul Hakim FH UGM aku bersujud syukur di lantainya. Di sebelahku ada Mbak Ima, pemandu ospek dan kakak angkatan, yang juga mendaftar Program Pembinaan SDM Strategis (PPSDMS). Ia menyelamatiku. Entah bagaimana perasaannya, sebagai pendaftar yang juga lolos tahap ke-3 Tes PPSDMS tetapi tidak masuk ke saringan terakhir. Yang kutangkap hanyalah senyum ringan yang tanpa beban.

Tepat 2 tahun yang lalu, adalah hari-hari di mana aku kerap kali melakukan Shalat Hajat untuk bisa masuk ke asrama berprogram luar biasa ini. Aku tahu betul bagaimana kapasitas diriku baik yang intrinsik, yang tak diketahui orang lain, maupun yang ekstrinsik yang tertera dalam CV-ku. Semuanya biasa-biasa saja dan tidak ada hebatnya. Saat itu aku pikir hanya kehendak Tuhan lah yang bisa membuatku terpilih sebagai peserta di Program Pembinaan SDM Strategis Nurul Fikri. Aku yang tak ada apa-apanya ini cukup berharap untuk bisa bergabung dengan PPSDMS karena merasa tempat ini bisa menjadi sarana melatih diri.

Kembali ke setting di depan Mushalla FH. Setelah momen ajaib tadi, kami berdua melanjutkan bersiap-siap untuk menyambut Mahasiswa Baru FH angkatan 2012 yang akan registrasi ulang di Direktorat Administrasi Akademik UGM. Beberapa SMS berdatangan ke ponselku, rata-rata mengucapkan selamat. Mungkin mereka adalah orang-orang yang juga punya concern terhadap siapa-siapa saja yang lolos seleksi PPSDMS ini.

***

1 Juli 2012, aku datang ke asrama PPSDMS di Jalan Kaliurang Km 8. Kabarnya akan ada penandatanganan kontrak perjanjian berasrama dengan PPSDMS. Aku kira acaranya akan dimulai agak molor, seperti umumnya acara. Ternyata, acara dimulai tepat jam 13. Aku yang terlambat sekitar 10 menit dari jadwal tersebut langsung duduk bersama sekitar 50 anak muda yang sudah di sana sejak sebelumnya. Belum dimulai pun aku sudah ditegur oleh sistem yang disiplin itu. Pasca penandatanganan tersebut, aku bersalaman dengan Pak Waziz Wildan sang Ketua Regional 3 PPSDMS.

“Bagaimana, sudah siap ya?” tanyanya pelan. Aku mengangguk.

Kehidupan berasrama pun dimulai.

***

“Keberadaanku di asrama PPSDMS harus membawa pengaruh baik untuk diriku sendiri dan teman-teman”, ujar batinku. Hari-hari awal berlalu. Cultural shock sempat kualami di asrama ini. Kebiasaanku untuk bangun tidur tidak selalu subuh hari tiba-tiba ditabrakkan dengan realitas bahwa santri PPSDMS harus bangun sebelum subuh. Begitu pula dengan jam pulang, yang tadinya semaunya, kini (pada hari-hari tertentu) dibatasi sampai jam 8 malam saja karena ada program asrama yang menunggu.

Begitu pula dengan ibadah harian. Aku cukup terkejut mendengar target atau standar ibadah yang harus dilakukan oleh santri PPSDMS. 1 juz Al Quran per hari terdengar fantastis buatku yang dulu mengaji hariannya hanya 1 halaman. Begitu pula dengan target puasa sunah dan sebagainya. Belum lagi target prestasi yang dibagi ke aspek: lomba, menulis, atau menjadi pemimpin dalam organisasi. Intinya, aku merasa ada target-target yang “that’s not me”.

Perasaan berat memang terkadang menghantui. Apalagi bagi orang sepertiku yang mempunyai mentalitas ‘lebih semangat apabila sedang dalam posisi unggul dan bukannya diungguli’. Teman-teman asramaku kawan, luar biasa konsistensi mengejar target ibadah dan prestasinya. Paling tidak, Award yang diberikan bulanan oleh asrama menjadi buktinya. Bergiliran kawan-kawanku mendapatkan gelar ‘Amal Yaumiah Terbaik’, ‘Kehadiran Terbaik’, atau ‘Peserta Terbaik Bulan X’, tetapi tidak dengan diriku. Bulan demi bulan berlalu dan aku masih saja menjadi mediocre. Aku tidak terlalu semangat.

Aku cukup puas dengan improvement dalam diriku, terutama dalam hal ibadah. Namun, kadar yang kumiliki sekarang belum cukup untuk bisa dibilang ‘peserta yang baik’ secara objektif. Masih banyak anak tangga yang harus ditempuh untuk mendekati kesempurnaan pencapaian target.

***

Sekilas Mengenai “Target”

Apabila disadari, beberapa kali kata “target” kusebutkan. Mungkin akan muncul pertanyaan;

“Apa iya, hidup di PPSDMS intinya adalah mengejar target-target tadi?”

“Seperti robot yang mengejar titik-titik panduan?”

“Seperti Bloodhound yang bisa disuruh-suruh untuk berlari ke tempat jatuh buruan tuannya?”

Bisa jadi ya, bisa juga tidak. Tergantung kepada bagaimana pribadi kita memaknainya.

 

Menembus Ketidakmungkinan

Satu kata yang terus terbayang ketika mengingat momen-momen Training Pengembangan Diri (TPD) bersama Bang Bachtiar Firdaus adalah “Buka gembok yang menghalangimu untuk bisa!” Kata-kata tersebut hampir pasti beliau sebutkan di setiap TPD. Dari hal-hal yang kusebutkan sebelumnya (ibadah, prestasi pribadi, dan prestasi sosial), ada yang belum bisa kujalankan sepenuhnya. Misalnya menulis di Media Massa cetak, menjuarai kompetisi, dan going abroad ke luar negeri.

Alasannya, mungkin diriku masih tergembok, oleh gembok yang kupasang sendiri dan tak kuketahui di mana kuncinya.

Lalu, apakah aku akan tetap dalam kondisi terkunci? Ada satu lagi prinsip yang Bang Bach ajarkan;

Kalau kamu bersungguh-sungguh, pasti terbuka jalan menuju tujuan!

Konsep kesungguhan yang Bang Bach ajarkan kepada kita bukanlah yang sekadar berasal dari dalam hati lalu diejawantahkan sejadi-jadinya. Ia mengajarkan pula, ada strategi yang harus diketahui, lalu ditempuh.

Misalnya untuk menulis di Media Massa cetak, pertama-tama kita harus membaca dan memahami apa yang hendak kita tulis, lalu ditulis. Setelah itu, ajak teman dan rekan untuk berdiskusi mengenai hasil tulisan tersebut. Setelah dengan teman, teruskan diskusinya. Namun, kali ini, bersama ahli di bidang yang kau sedang tulis. Setelah lolos, konsultasikan Bahasa penulisannya kepada jurnalis. Tulisan tersebut akan memiliki probabilitas yang tinggi untuk diterima. PPSDMS memiliki jaringan yang luar biasa luas dan strategis. Tinggal si santri mau memanfaatkan atau tidak.

Begitu pula untuk going abroad. Mahasiswa berdana pas-pasan sudah tentu harus mencari donasi dan sponsor agar keberangkatannya ke luar negeri bisa terlaksana. Strategi untuk bisa mendapatkan dukungan dana adalah dengan membangun jaringan dengan tokoh-tokoh yang memiliki minat dan kepedulian mengenai tema seminar atau konferensi yang hendak kita ikuti, sejak jauh hari. Jangan sampai baru beberapa bulan menjelang keberangkatan, kita baru repot mencari-cari dan mendekati siapa saja yang bisa “dimintai duit”. Selain kurang etis, kemungkinan berhasilnya pun dipertanyakan.

Sedikit cerita mengenai perjalananku ke negeri orang. Bulan Agustus 2013 makalah yang kukirim ke Panitia Democratic and Economic Youth Summit 2013 di Turki dinyatakan diterima dan aku diundang oleh mereka sebagai invited participant yang akan dijamu dan diberi akomodasi selama di Turki. Namun, untuk tiket perjalanannya, aku harus mencari pendanaan sendiri. Singkat cerita, apapun dan bagaimanapun cara halal yang tersedia aku (dan teman-teman) lakukan. Akhirnya kami bisa berangkat juga.

Kalau tanpa strategi pun sebuah cita-cita bisa terlaksana, apa lagi bila didahului perencanaan yang matang.

***

Candradimuka

Dalam tulisan (yang kusadari betul, kurang sistematis) ini, aku mencoba menghubungkan antara konsep Kawah Candradimuka dengan kehidupan di PPSDMS. Kawah Candradimuka, dalam kisah perwayangan, digambarkan sebagai tempat di Kahyangan yang juga merupakan tempat dibuangnya (mungkin lebih halus bila disebut ‘ditempatkannya’) anak dari Bima yang bernama Tutuka. Di dalamnya, Tutuka digembleng dan dilatih dengan sangat keras. Alhasil, suatu hari ia keluar dari dalamnya dan menjadi seorang sakti yang kita kenal dengan nama Gatotkaca, ksatria berotot kawat tulang besi.

Begitu pula dengan kisah Wisanggeni, anak dari Arjuna. Suatu ketika Wisanggeni kecil dilempar ke Kawah Candradimuka dengan tujuan agar ia terbunuh. Alih-alih mati, Winggaseni malah keluar dari dalam kawah tersebut sebagai ksatria maha sakti.

Dalam pikiranku, PPSDMS bisa dianalogikan sebagai Kawah Candradimuka ini. Sejumlah orang terpilih yang “dicemplungkan” ke dalamnya lalu digodok dalam tempo tertentu kelak akan keluar sebagai seseorang yang bermental (dan mungkin berkemampuan) ksatria. Anggaplah segala kewenangan dan kewajiban yang ada nantinya sebagai tempaan bagi diri kita. Ingatlah kawan, pedang yang tidak ditempa, seseram apapun tampilannya tetap saja tidak kokoh. Tempaan yang berbentuk pukulan bertubi-tubi ke badan sang pedang itulah yang menguatkannya.

Target ibadah yang bagi sebagian orang terasa berat, ternyata merupakan standar dasar ibadah yang dilakukan oleh para Sahabat Rasulullah, yang tentunya harus kita dekati standar tersebut. Begitu pula dengan tuntutan untuk berprestasi yang ternyata amat berguna sebagai branding dari kemampuan umat Islam dan rakyat Indonesia. Citra baik tersebut bisa menjadi sebuah nilai dakwah.Perjalanan ke luar negeri akan membuka optimisme kita, bahwa Indonesia pun sangat mungkin untuk sejahtera. Banyak lagi hikmah-hikmah yang bisa kita gali dari setiap target yang ditetapkan PPSDMS, walaupun bukan berarti target-target tadi kebenarannya absolut, tanpa cela, dan tidak bisa dikritik. Keep up your criticism!

Hal lain yang juga bisa menjadi sarana pendewasaan adalah proses menangani konflik (yang sangat mungkin muncul) dalam kehidupan berasrama. Konflik dapat berupa vertikal, yang berhubungan dengan target yang ditetapkan oleh PPSDMS Pusat tadi, ataupun horizontal. Konflik vertikal biasanya dirasakan bukan hanya oleh diri kita sendiri. Sehingga kesadaran (atau keresahan) biasanya akan dirasakan secara kolektif.

Beda halnya dengan konflik horizontal. Konflik jenis ini bisa terjadi akibat hal-hal yang sangat mikro, seperti tidak izin dalam menggunakan barang milik teman lain (ghosob) atau hal-hal kecil lainnya. Penyebabnya sering kali tidak disadari atau dirasakan. Oleh karena itu, kita harus peka (atau memekakan diri) dalam menghadapi hal ini.

Khatimah

Untuk menutup tulisan tak sistematis ini, aku ingin merangkumnya ke dalam sebuah pernyataan; “Jaga ekspektasimu pada tingkatan yang moderat. Tidak terlalu tinggi, juga tidak rendah. How PPSDMS works is shaped by you, all of you!

Apabila diandaikan dengan sebutir intan, seberapa berkilau kualitas diri kita ditentukan oleh seberapa sering kita “menggosoknya”. PPSDMS adalah gerindanya. Apabila ia dimanfaatkan dengan baik, maka ia bisa mengilapkan kualitas diri dan lingkungan kita. Namun, apabila kita hanya berharap mendapatkan sesuatu dari sini maka bersiaplah untuk tidak menemui beberapa harapan tersebut.

Semoga kita dikuatkan dalam menjalani penempaan yang biasa disebut orang ‘a la Kawah Candradimuka‘ ini.

Selamat berproses, selamat mendewasa!

psdmss

Categories: kehidupan bermahasiswa | Tags: , , | 2 Comments

Celoteh Dini Hari Mengenai MCC

Dariku yang sekadar mengalami lebih dulu dan belum tentu lebih tahu, kepada engkau yang lebih muda dan berdaya

“Menghitung hari” ujar penyair di sana. Ya, memang kesempatan kita untuk berpeluh di medan latihan agar tak “berdarah” di medan perjuangan yang akan kita jajaki beberapa hari lagi.

Aku sadar betul, bahwa bukan siapa-siapa di sini. Aku sungguh berbeda dengan pelatih hebat di sana. Bahkan perihal pola latihan yang baik pun belum sepenuhnya aku paham dan setuju.

Tetapi, izinkanlah kakak yang dua tahun lalu mengalami hal yang sedang kau kerjakan ini membagi sedikit apa yang ia rasa ketahui.

MCC adalah satu tools dalam membangun diri sekaligus memberi arti terhadap waktu-waktu dalam masa kuliahmu. MCC juga bisa menjadi ajang untuk memberi sumbangsih terhadap keilmuan umat Islam. Ada pepatah indah yang berbunyi “Apabila bekerja keras adalah ibadah, maka menjadi juara adalah dakwah”. Soal niat dan kinerja, siapa yang tahu? Karena itu, publik butuh sesuatu yang lebih terkuantifikasi. Misalnya urutan juara.

Oleh karena itu, kawan-kawan sekaligus adik-adikku, berusahalah semampu yang kau bisa. Paksa dirimu melewati batas yang kau rasa selama ini ada! Buka gembok yang menghalangimu untuk bisa!

Yang ku minta: Usaha!

Ada sedikit cerita yang mau ku bagi mengenai label juara. Suatu hari di seputar bulan April 2012, seorang pelatih sedang mengumpulkan kami para anggota tim MCC KMFH 2012 untuk ditanyai mengenai motivasi. Hampir semua menjawab (paling tidak, salah satu) motivasinya adalah untuk menjadi juara satu. Aku bilang “hampir semua” karena ada satu orang yang menjawab “niatku bukan menjadi juara satu”. Orang itu adalah aku.

Walaupun jawaban nyeleneh itu berujung kepada dakwaan (atau mungkin dampratan) kepadaku bahwa aku adalah orang yang “menggembosi” semangat tim, hingga hari ini aku masih yakin bahwa jawabanku saat itu patut dianggap benar.

Buatku, juara satu bukanlah parameter (utama) keberhasilan tim ini. Apabila parameter keberhasilannya adalah juara, maka artinya ketika tim ini tidak diberi gelar tersebut hancur sia-sialah proses 2 bulan yang penuh peluh ini. Gagal tiada sisa. Bagiku, pelajaran hidup mengenai persahabatan dan kerja bersama adalah yang utama. Proses, Bung!

Walaupun tidak berminat untuk mengejar gelar juara, bukan berarti usaha kami grade dua. Kami tetap berusaha dan berlatih layaknya sebuah tim yang sudah pasti diberi gelar juara pertama, karena begitu tangguhnya berusaha.

 

Sedikit Teknik

Bagaimana bentuk konkret dari berperforma layaknya sang juara? Paling tidak ada satu hal yang paling awal perlu ditanamkan: sikap! Attitude!

Saya sepakat betul terhadap metode salah seorang pelatih kami dulu, dalam membuat tim serius berlatih. Ia menekankan bahwa ketika latihan dimulai, maka lupakanlah segala hal yang ada di luar sidang. Anggap dirimu seseorang yang sedang kau perankan. Jadilah Hakim yang berwibawa dan memperjuangkan keadilan. Jadilah Jaksa yang menekan. Jadilah Penasihat Hukum yang merayu, mendayu, dan mempengaruhi. Serta saksi yang dalam betul menjiwai perannya.

Jangan lupakan peran Petugas Pengadilan dan Kejaksaan, serta Rohaniwan yang kadang dianggap kecil, tetapi apabila mereka terus semangat, bisa-bisa membuat malu para pejabat sidang yang kurang serius latihan.

Entah benar atau salah, aku hanya yakin bahwa hasil itu prerogatif Tuhan. Manusia hanya bisa merencanakan, lalu dijalankan. Maka jalanilah dengan langkah-langkah terbaik kita, keluarga besar KMFH.

Celotehan ini ditulis sambil menatap lekat satu-satu wajah lelah kawan-kawan MCC KMFH 2014. Mayday 2014

***

update:

mcc2014

Hari ini, Senin 5 Mei 2014 Tim Moot Court Competition (MCC) KMFH UGM telah menunjukkan penampilannya. Aku menilai performanya baik. Tak apa bung! Setiap tahun dalam dinamika MCC KMFH UGM pasti ada plus dan minusnya. Penampilan di Gedung I hanyalah satu dari sekian banyak aspek berharga dari proses panjang bernama MCC.

Terus ingat perjuangan kita bersama! Ingatlah juga coach dan kakak-kakak senior dan Pengurus Harian yang berkorban waktu, tenaga (dan bensin) untuk mendukung para pemeran utama menghadirkan penampilan terbaik di sidang. Kita adalah dulur sak lawase, saudara selamanya kawan-kawan! Sekali terpaut oleh tali bernama MCC, jangan pernah kau lepas lagi!

Kalian juaranya Andi, Arief, Farah, Kenita, Dito, Midah, Yunia, Rizka, Angga, Hasna, Pandu, Miko, Wisnu, Arif Bantul, Ageng, Satyo!

Hidup Mahasiswa Indonesia, Viva Justicia, MCC KMFH: Allahu Akbar!!!

Categories: kehidupan bermahasiswa | Leave a comment

H-7 Kehilangan Status

Agar pikiran kita berada pada lajur yang sama, aku mau tegaskan dulu bahwa status yang dimaksud di sini adalah status teenager. Ya, 7 hari mendatang, tepatnya pada pukul 15 sore, usiaku genap 20 tahun. Cepat sekali rasanya dunia ini berjalan.

Pertanyaan lumrah yang akan muncul adalah, sudah menciptakan apa saja? Bill Gates, yang kini menjadi orang terkaya di dunia (Forbes, 2013), membuat Microsoft established di usia ke-20-nya. Sama halnya dengan pembuat Social Media nomor wahid di masa kini, Mark Zuckerberg.

Tentunya sebagai seorang (yang ingin disebut sebagai) aktivis Islam, saya tidak mau menjalani hidup sebagai teenager dalam definisi lagunya My Chemical Romance yang kurang lebih menginginkan kehidupan teenage yang bebas dari pantauan orang tua. Sebaliknya, saya malah ingin bisa hidup secara teratur. Dalam beberapa hal, saya kagum dengan gaya hidup militer yang bergerak dengan motivasi. Living by a certain code. Saya ingin bisa tersemangati dengan amanah-amanah yang diembankan kepada diri saya.

Keluarga Muslim Fakultas Hukum UGM mengembankan amanah kepada saya untuk menjadi muslim pengader nomor satu di FH UGM, paling tidak dalam upaya dan fokusnya. PPSDMS, asrama hebat tempat saya tinggal juga tak luput membebankan misi menjadikan Indonesia lebih baik dan bermartabat, serta mendapat kebaikan dari Allah SWT. Keluarga di rumah, ibu dan ketiga adikku, turut menaruh harapan pada diriku. Banyak kalimat-kalimat bernada bangga yang ibuku ucapkan bila sedang membicarakan diriku.

Ah, bila kalkulasi, beban ini begitu berat. Aku takkan mampu. Takkan mampu bila beban ini tidak di-manage dengan serius. Terlebih setelah melepas usia belasan (teenage), maka diri ini akan dianggap sebagai seorang dewasa yang harus bertanggung jawab terhadap setiap gerak-gerik dan polah tingkahnya. Dunia akan semakin tanpa ampun.

 

Mereka di Usia 20

Imam Syafi’i, ulama yang  didaulat menjadi Mufti di umur 15 tahun. Artinya, ia sudah boleh memberi fatwa terhadap suatu perkara. Pada usia 20 tahun sudah belajar langsung ke Imam Malik, ulama besar di zaman tersebut. Beliau memilih mendalami ilmu agama sebagai spesialisasinya dalam membangun peradaban manusia.

Seperti yang sedikit diulas di atas, Gates dan Zuckerberg juga telah berprestasi sedemikian jauh di usia mudanya. Dari biografi Bill Gates yang saya baca, ia sangat fokus mengembangkan teknologi Operating System (OS) Windows sejak awal ditelurkannya ide OS yang dapat diakses seluruh umat manusia. Demikian pula dengan Mark Zuckerberg yang digambarkan dalam film The Social Network amat tekun (bahkan cenderung maniak) mematangkan konsep Facebook-nya.

Lalu, aku mau melakukan apa?

Categories: kehidupan bermahasiswa | Leave a comment

Masjid Ideal Versi Pemuda

Kata ‘masjid’ jarang menimbulkan kesan mengasyikkan di benak anak muda zaman sekarang. Masjid identik dengan tempat untuk beribadah ritual, seperti shalat, mengaji, kajian keislaman, dan sejenisnya. Saat seorang pemuda rata-rata ditanya mengenai tempat favoritnya untuk berkegiatan, jarang sekali yang menyebut masjid sebagai jawabannya. Sehingga tesis awal penulis dalam tulisan ini adalah bahwa rata-rata masjid saat ini belum dapat menjadi sentra kegiatan yang digemari oleh anak muda.

Ada suatu logika populer, yaitu apabila di suatu bangsa pasarnya lebih ramai daripada masjid, “pasar” akan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pemerintahan dibandingkan dengan pengaruh “masjid”. Mindset pemerintahan akan menjadi mindset penguasa pasar, bukannya para ulama–yang oleh hadits disebutkan sebagai warasatul anbiya. Ketika pasar mengatur pemerintahan–apalagi bila penguasa pasar adalah orang yang tidak baik–maka pemerintahan yang akan berlangsung adalah yang kapitalistik dan mencekik. Kondisi ini sudah tentu perlu dicegah. Pola pikir “masjid” harus menjadi (atau minimal, mempengaruhi) pola pikir pemerintah.

Didasari semangat revitalisasi tersebut, pemuda yang rindu akan kejayaan agama dan bangsa tentu perlu turut serta dalam progres ini. Jika salah satu permasalahan dasar dari kurang ramainya masjid (beserta kegiatannya) adalah karena rancangan kegiatannya yang monoton dan tidak valid dengan zaman kini, maka solusinya adalah mengemas ulang kegiatan-kegiatan tersebut.

Kegiatan yang monoton berisiko kalah saing dengan acara-acara yang lebih modern dan diminati oleh anak-anak dan pemuda masa kini. Akibat televisi yang kini ada di setiap rumah, mentalitas atau mindset masyarakat adalah apa yang televisi nyatakan–kebanyakan berupa hal duniawi yang menyenangkan. Kegiatan seperti kajian dan diskusi akhirnya menjadi kurang digemari. Butuh inovasi agar pemuda punya keinginan mendekati masjid.

Sebagai contoh, pengalaman penulis pribadi di kampung halaman. Di sekitar tahun 2010 masjid di kampung saya mati suri. Azan hanya kadang-kadang, jamaah shalat pun cukup dibilang dengan jumlah jari tangan seorang manusia. Belakangan ini saya sadari bahwa kemungkinan penyebabnya adalah kekakuan acara-acara yang ada di masjid tersebut. Taman Pendidikan Al Quran (TPA) dan Karang Taruna di sana makin lama semakin berkurang pesertanya. Akibatnya, pengunjung masjid menjadi semakin sepi.

Musik dapat menjadi eye-catcher agar pemuda dekat dengan masjid. Dari zaman ke zaman, musik selalu identik dengan kegemaran anak muda. Dengan menambahkan alat-alat musik seperti rebana, seruling, dan gitar, kegiatan di masjid akan semakin variatif. Kajian-kajian dapat diawali dengan musik yang dilantunkan oleh pemuda warga sekitar.

Proses latihan musik pun dapat menjadi momen yang mengeratkan para pemuda. Selain itu, latihan musik juga merupakan sarana menggunakan waktu secara bermanfaat. Di masjid dekat rumah saya, kehadiran hadroh menjadikan masjid kembali ramai. Pemuda di sana banyak menghampiri masjid karena tertarik dengan kegiatan hadroh tersebut.

Musik hanyalah salah satu cara menarik yang saya ajukan sebagai alternatif menjadikan kembali masjid sebagai pusat kegiatan masyarakat. Masih banyak cara lain yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi dan minat pemuda di suatu masyarakat.

Jika pemuda sudah tertarik dan terikat hatinya dengan masjid, maka tak ada halangan untuk mengurus secara intens sebuah masjid. Ingatkah kita tentang salah satu golongan yang akan masuk surga, yaitu pemuda yang bersahabat dengan masjid.

“Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:

  1. Pemimpin yang adil.
  2. Pemuda yang tumbuh di atas kebiasaan ‘ibadah kepada Rabbnya.
  3. Lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid.
  4. Dua orang yang saling mencintai karena Allah, sehingga mereka tidak bertemu dan tidak juga terpisah kecuali karena Allah.
  5. Lelaki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik lalu dia berkata, ‘Aku takut kepada Allah’.
  6. Orang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
  7. Orang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri hingga kedua matanya basah karena menangis.”

(HR. Al-Bukhari No. 620 dan Muslim No. 1712)

Semoga kita bisa menjadi bagian dari golongan tersebut. Aamiin.

Alhamdulillah, dimuat di:
http://www.dakwatuna.com/2013/03/30028/masjid-ideal-versi-pemuda/

Categories: Opinio | Tags: | Leave a comment

Cyclojourney

IMG_20130226_14440

Sepeda telah menjadi bagian penting dalam hidupku. Setidaknya sejak aku bisa mengendarainya sendiri. Diawali dari sepeda roda tiga bermerek Family, aku mengenal dan mulai mencintai dunia persepedaan. Di masa Taman Kanak-kanak (TK) pun aku diakrabkan dengan sepeda. Ayah atau ibuku mengantarku ke sekolah dengan sepeda. Ada 2 alasannya. Pertama, jarak dari rumah kontrakan dahulu ke sekolah hanya sekitar 1 km. Kedua, memang hanya itu moda transportasi yang keluarga kami miliki masa itu.

Begitu pun dengan masa SD, aku tetap setia mengendarai sepeda ke sekolah. Hanya di masa Madrasah Tsanawiyyah (MTs/sederajat SMP) saja aku tidak bersepeda. Jarak sekolah dengan rumah yang terlalu jauh menjadi alasannya.

Di kelas 2 SMA, tanpa diduga teman dekatku mengajakku untuk ikut Car Free Day (CFD) di Jakarta. Saat itu aku tidak memiliki sepeda. Namun karena melihat semangat si teman, aku akhirnya terbius juga. Aku pinjam sepeda bibiku – Specialized seri Stumpjumper. Di acara tersebut, kami tanpa sengaja mendatangi stand Komunitas Bike to School. Di sana ada beberapa anak sebaya kami yang menyambut dengan ramah. Singkat cerita, kami bergabung. 1,5 tahun ke depan sejak peristiwa itu, kami menjadi aktivis sepeda.

Cerita paling dramatis sepanjang perjalanan bersepedaku (ku sebut cyclojourney) adalah saat kelas 2 SMA. Aku memutuskan untuk naik sepeda ke Puncak, Bogor. Kami menargetkan untuk bisa menginap di vila di daerah Cibodas. Itu sama sekali bukan perjalanan yang ringan.

Dimulai dari Depok, aku dan 4 orang teman menggenjot sepeda menuju kota Bogor. Setelah perjalanan yang melelahkan, Puncak pun berhasil kami taklukkan. Beberapa orang mungkin tidak terkejut mendengarnya. Namun, sebagian lain akan bertanya-tanya bagaimana bisa. Salah satunya adalah karena setting ketinggian sadel yang tepat. Di posting selanjutnya, setting sadel ini akan coba saya jelaskan dengan jelas dan sederhana.

Ada sebuah pelajaran besar yang saya dapatkan dari perjalanan bersepeda ke Puncak ini. Antara lain bahwa sesuatu yang awalnya terlihat mustahil dicapai, dengan usaha, insya Allah tetap dapat dicapai. Gunung yang tadinya terlihat biru di kaki langit sana, setelah 11 jam menggenjot akhirnya bisa dicapai puncaknya. Perjalanan yang cukup menyakitkan memang. Paha serasa hilang. Mungkin karena fase ‘terlalu sakit’ telah terlewati, sampai-sampai mati rasa.

Perjalanan dari rumah ke SMA sejauh 7 km setiap hari juga kutempuh dengan bersepeda. Di Jakarta yang begitu padat, bersepeda memberi advantage tersendiri. Selain bisa selip-selip karena ramping, sepeda juga memiliki hak berlalu lintas layaknya pejalan kaki. Artinya, boleh naik ke trotoar, melawan arus, menyeberang dan putar arah di mana saja, dan sebagainya. Tentunya di keriuhan lalu lintas Jakarta, hak-hak ini amat menguntungkan. Maka bersepedalah!

Masalah yang timbul relatif mudah diatasi, antara lain harus bersabar bila di-klakson oleh kendaraan lain, harus mandi atau mengeringkan keringat ketika sampai di tempat tujuan (yang jauh), dan harus melindungi diri dari polusi. Tidak terlalu riskan dan merugikan saya rasa.

Setelah lewat masa SMA dan kini berkuliah di UGM Sleman Yogyakarta juga aku masih senang bersepeda. Didukung dengan suasana lalu lintas Yogyakarta yang lebih friendly dan banyaknya tempat yang relatif sepi membuat pesepeda sepertiku cukup bahagia. Pemandangan pepohonan yang membentuk semi-hutan dan persawahan amat enak dinikmati sambil bersepeda. Apalagi bila sambil mendengar musik dengan headphone yang berkualitas apik :p

Kadang aku menantang diri dengan menggelar rencana bersepeda jarak jauh. Salah satu yang terjauh adalah ke Solo. Dan… dengan segenap usaha dan sebuncah keringat, Solo pun dapat dicapai dalam 5 jam perjalanan santai.

 

Beberapa kalangan berkata “bahagia itu sederhana” dan ternyata memang demikian. Mungkin misi yang saya bawa sebagai seorang cyclist adalah mempromosikan asyiknya naik sepeda, dengan menekankan bahwa bila cara bersepeda dan perencanaan perjalanannya baik.

Tulisan ini dengan sengaja dibuat sederhana. Tanpa proses editing dan berdasarkan pengalaman semata. Tak apa lah! Sesekali seorang insan pasti ingin bernostalgia dengan cara menulisnya dahulu. Zaman awal SMA kurasa. Disebut cyclojourney sebagai awalan dari berbagai cerita bersepeda yang sudah atau kelak kugoreskan.

Categories: cyclojourney | Tags: , , , , , , , , , | 1 Comment

Mahasiswa Mengajar, Bangun Indonesia

Bagian ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi agaknya sering terlupakan oleh mahasiswa masa kini. Pengabdian masyarakat yang menjadi output paling konkret dari pendidikan malah menjadi bagian yang terkesan paling dikesampingkan dari perjalanan berkuliah seorang mahasiswa. Padahal tanpa pengabdian masyarakat, pendidikan akan menjadi layaknya singa ompong. Pendidikan akan menjadi teori belaka yang kosong perwujudan.

Salah satu bentuk pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan mahasiswa adalah mengajar. Konteks mengajar yang dimaksud dapat berupa mengajar les, menjadi tutor di lembaga bimbingan belajar, atau menjadi sukarelawan mengajar di lingkungan terdekatnya. Namun dalam tulisan ini, saya memfokuskan bahasan kepada pengajaran oleh mahasiswa yang sifatnya suka rela di tempat-tempat yang minim akses pendidikan.

Mengajar menjadi pilihan yang baik bagi mahasiswa karena akses terhadapnya relatif mudah. Banyak organisasi kemahasiswaan maupun organisasi sosial lainnya yang menyediakan sarana untuk mengajar dan membuka kesempatan bagi siapa pun yang ingin berperan serius untuk ikut. Tinggal mahasiswanya yang aktif mencari untuk selanjutnya berpartisipasi.

Pisau Bermata Dua

Diperkirakan, ada sekira 4,8 juta mahasiswa di Indonesia pada 2011. Angka ini dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, jumlah tersebut mumpuni untuk menjadi pengajar di berbagai pelosok negeri ini. Andaikata lima persen saja dari jumlah tersebut berperan dalam proses pengajaran, jumlah warga negara yang tercerdaskan tentu akan sangat banyak.

Di sisi lain, angka tersebut hanya merupakan 18,4 persen dari jumlah rakyat Indonesia berusia 19-24 tahun yang berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Artinya, di pundak sejumlah kecil orang (baca: mahasiswa) itulah beban memperbaiki nasib rakyat diletakkan.

TPA Desbin

Pengajaran oleh mahasiswa via lembaga kemahasiswaan relatif akan kontinu, karena setiap tahun akan ada mahasiswa baru yang masuk ke kampus-kampus di negeri ini. Oleh karena itu, akan selalu ada energi baru untuk menggerakkan proses pengajaran oleh mahasiswa.

Objek yang umum dijadikan target mengajar mahasiswa adalah anak-anak. Kita sama-sama meyakini bahwa generasi muda di zaman sekarang adalah penggerak di masa yang akan datang. Pendidikan di usia dini menjadikan mental anak-anak tersebut terbentuk sejak awal, sehingga mereka akan siap dibentuk menjadi generasi penerus perjuangan bangsa.

Mutualisme dari Mengajar

Dari pengalaman pribadi penulis mengajar di salah satu pelosok Yogyakarta selama beberapa bulan, ditambah dengan hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pengajar di area lain provinsi yang sama, didapatkan kesimpulan bahwa anak-anak senang bila diajari oleh mahasiswa karena metode yang digunakan lebih kreatif dan variatif jika dibandingkan dengan pola pengajaran formal di sekolah mereka masing-masing. Oleh karena itu, proses belajar mengajar yang menyenangkan anak-anak tersebut dapat menjadi alternatif penggunaan waktu yang produktif jika dibandingkan dengan menonton televisi, yang biasa dilakukan anak-anak masa kini pada waktu-waktu senggangnya.

Dengan mengajar pula mahasiswa dapat memberikan akses pendidikan kepada masyarakat kelas bawah, yang sebelumnya mungkin amat sulit mereka dapatkan. Mengajar di pelosok juga dapat menjadi pengalaman yang membahagiakan sekaligus mendewasakan. Realitas sosial akan lebih dulu dirasakan oleh mahasiswa yang “turun langsung” ke masyarakat dibandingkan yang hanya belajar lewat diktum-diktum kuliah. Saya rasa wawasan mengenai realitas sosial ini penting dimiliki oleh mahasiswa untuk menghadapi kehidupan pascakampus.

Hanif Ibrahim Mumtaz
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Pengajar di Desa Binaan Keluarga Muslim Fakultas Hukum UGM – Jojoran Kulon – Bantul

Alhamdulillah, dimuat di:
http://kampus.okezone.com/read/2013/02/13/95/760972/mahasiswa-mengajar-bangun-indonesia

Categories: kehidupan bermahasiswa | Tags: , , , , , , , , , | Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.