Posts Tagged With: go green

Cyclojourney

IMG_20130226_14440

Sepeda telah menjadi bagian penting dalam hidupku. Setidaknya sejak aku bisa mengendarainya sendiri. Diawali dari sepeda roda tiga bermerek Family, aku mengenal dan mulai mencintai dunia persepedaan. Di masa Taman Kanak-kanak (TK) pun aku diakrabkan dengan sepeda. Ayah atau ibuku mengantarku ke sekolah dengan sepeda. Ada 2 alasannya. Pertama, jarak dari rumah kontrakan dahulu ke sekolah hanya sekitar 1 km. Kedua, memang hanya itu moda transportasi yang keluarga kami miliki masa itu.

Begitu pun dengan masa SD, aku tetap setia mengendarai sepeda ke sekolah. Hanya di masa Madrasah Tsanawiyyah (MTs/sederajat SMP) saja aku tidak bersepeda. Jarak sekolah dengan rumah yang terlalu jauh menjadi alasannya.

Di kelas 2 SMA, tanpa diduga teman dekatku mengajakku untuk ikut Car Free Day (CFD) di Jakarta. Saat itu aku tidak memiliki sepeda. Namun karena melihat semangat si teman, aku akhirnya terbius juga. Aku pinjam sepeda bibiku – Specialized seri Stumpjumper. Di acara tersebut, kami tanpa sengaja mendatangi stand Komunitas Bike to School. Di sana ada beberapa anak sebaya kami yang menyambut dengan ramah. Singkat cerita, kami bergabung. 1,5 tahun ke depan sejak peristiwa itu, kami menjadi aktivis sepeda.

Cerita paling dramatis sepanjang perjalanan bersepedaku (ku sebut cyclojourney) adalah saat kelas 2 SMA. Aku memutuskan untuk naik sepeda ke Puncak, Bogor. Kami menargetkan untuk bisa menginap di vila di daerah Cibodas. Itu sama sekali bukan perjalanan yang ringan.

Dimulai dari Depok, aku dan 4 orang teman menggenjot sepeda menuju kota Bogor. Setelah perjalanan yang melelahkan, Puncak pun berhasil kami taklukkan. Beberapa orang mungkin tidak terkejut mendengarnya. Namun, sebagian lain akan bertanya-tanya bagaimana bisa. Salah satunya adalah karena setting ketinggian sadel yang tepat. Di posting selanjutnya, setting sadel ini akan coba saya jelaskan dengan jelas dan sederhana.

Ada sebuah pelajaran besar yang saya dapatkan dari perjalanan bersepeda ke Puncak ini. Antara lain bahwa sesuatu yang awalnya terlihat mustahil dicapai, dengan usaha, insya Allah tetap dapat dicapai. Gunung yang tadinya terlihat biru di kaki langit sana, setelah 11 jam menggenjot akhirnya bisa dicapai puncaknya. Perjalanan yang cukup menyakitkan memang. Paha serasa hilang. Mungkin karena fase ‘terlalu sakit’ telah terlewati, sampai-sampai mati rasa.

Perjalanan dari rumah ke SMA sejauh 7 km setiap hari juga kutempuh dengan bersepeda. Di Jakarta yang begitu padat, bersepeda memberi advantage tersendiri. Selain bisa selip-selip karena ramping, sepeda juga memiliki hak berlalu lintas layaknya pejalan kaki. Artinya, boleh naik ke trotoar, melawan arus, menyeberang dan putar arah di mana saja, dan sebagainya. Tentunya di keriuhan lalu lintas Jakarta, hak-hak ini amat menguntungkan. Maka bersepedalah!

Masalah yang timbul relatif mudah diatasi, antara lain harus bersabar bila di-klakson oleh kendaraan lain, harus mandi atau mengeringkan keringat ketika sampai di tempat tujuan (yang jauh), dan harus melindungi diri dari polusi. Tidak terlalu riskan dan merugikan saya rasa.

Setelah lewat masa SMA dan kini berkuliah di UGM Sleman Yogyakarta juga aku masih senang bersepeda. Didukung dengan suasana lalu lintas Yogyakarta yang lebih friendly dan banyaknya tempat yang relatif sepi membuat pesepeda sepertiku cukup bahagia. Pemandangan pepohonan yang membentuk semi-hutan dan persawahan amat enak dinikmati sambil bersepeda. Apalagi bila sambil mendengar musik dengan headphone yang berkualitas apik :p

Kadang aku menantang diri dengan menggelar rencana bersepeda jarak jauh. Salah satu yang terjauh adalah ke Solo. Dan… dengan segenap usaha dan sebuncah keringat, Solo pun dapat dicapai dalam 5 jam perjalanan santai.

 

Beberapa kalangan berkata “bahagia itu sederhana” dan ternyata memang demikian. Mungkin misi yang saya bawa sebagai seorang cyclist adalah mempromosikan asyiknya naik sepeda, dengan menekankan bahwa bila cara bersepeda dan perencanaan perjalanannya baik.

Tulisan ini dengan sengaja dibuat sederhana. Tanpa proses editing dan berdasarkan pengalaman semata. Tak apa lah! Sesekali seorang insan pasti ingin bernostalgia dengan cara menulisnya dahulu. Zaman awal SMA kurasa. Disebut cyclojourney sebagai awalan dari berbagai cerita bersepeda yang sudah atau kelak kugoreskan.

Categories: cyclojourney | Tags: , , , , , , , , , | 1 Comment

Blog at WordPress.com.